SEBUAH CATATAN UNTUK MEREKA YANG BERJUANG MEMENANGKAN HIDUPNYA

Apakah kau percaya bahwa sebenarnya kematian sangat dekat dengan kita? Sangat dekat dan sangat tipis jaraknya. Lebih tipis dari sehelai rambutmu yang rapuh. Bayangkanlah, jika kematian memiliki napas, tubuhmu bisa merasakan setiap embusan napasnya tepat di depan hidungmu. Bahkan kau bisa mendengar setiap detak jantungnya bergantian dengan detak jantungmu. Namun kau tak perlu khawatir untuk membedakannya. Detaknya selalu konstan dan stabil saban waktu, kecuali jika ia sudah dekat denganmu. Detaknya akan semakin cepat, seolah berlari memburu ke daun telingamu. Kemudian embusan napas itu, akan memburu lebih cepat dari napasmu yang tiba-tiba tersengal sebab kaget bertemu dengan separuh wajah maut.

Coba bayangkan.

Kau tiba-tiba akan bangun dari tidur malammu. Memeriksa keadaan, kemudian melihat gadget yang di-cas semalaman, pesan wa group yang menumpuk, tagihan pengingat tugas, atau tanggungan-tanggungan lainnya. Kemudian kau akan jengah, lalu membuka Instagram dengan niat mencari hiburan. Bukan hiburan yang kau dapat, namun setumpuk penyesalan yang semakin menjadi-jadi. Instagram adalah media pamer kehidupan, media paling layak untuk membungkus perasaan sedih dengan kebahagiaan. Di aplikasi ini, betapa ratusan orang datang dari segala penjuru dunia: memperlihatkan betapa luar biasanya pencapaian mereka sejauh ini. Lalu dirimu?

Kemudian hatimu perlahan menciut, merasa legam dihantam kesibukan yang tiada habisnya. Belum juga terbangun dari tidur, tubuhmu kau baringkan manja di kasur kembali. Ada sebuah hantaman beban yang begitu berat di dalam sana. Pelan-pelan matamu terpejam kembali, mencoba mengingat-ingat sisa mimpi semalam. Betapa semua kau anggap akan baik-baik saja. Kemudian kau kembali dikagetkan sebuah alarm di gadget-m. Tugas Prof.X: makalah seni mendidik; tagihan laporan pertanggung-jawaban; dan tentu masih banyak lainnya yang kau anggap sebagai pengingat. Namun nyatanya adalah sebuah beban yang menyurupai bom waktu di pikiranmu. Kemudian kau akan merasa menjadi orang paling menderita di dunia: seorang dengan kesibukan yang membebani, tanpa pencapaian, masih terkendala tagihan di sana-sini.

Kau tentu tak lupakan? Betapa sebenarnya kematian sangat dekat dengan kita. Sangat dekat dan sangat tipis jaraknya bahkan lebih tipis dari sehelai rambutmu yang rapuh. Pagi yang gelisah, kemudian memeluk jiwamu yang payah, yang terhantam beban entah dari mana asalnya. Kemudian ada yang berusaha memejamkan mata, dan memaksa: oke, percayalah semuanya akan baik-baik saja, tapi selanjutnya aku bisa apa?

Kemudian kau akan menarik napas dalam-dalam. Oke, semuanya akan baik-baik saja. Menarik napas lagi—jauh lebih dalam, lalu keluar secara perlahan. Menarik napas lagi—jauh lebih dalam dari sebelumnya, lalu mengeluarkan lebih perlahan. Tanpa sadar kau mulai memejamkan mata secara perlahan. Menarik napas lagi—jauh lebih dalam dari sebelumnya, lalu mengeluarkan jauh lebih perlahan. Pandang matamu kemudian merasuk lebih dalam. Ingat, betapa sebenarnya kematian sangat dekat dengan kita. Sangat dekat dan sangat tipis jaraknya. Lebih tipis dari sehelai rambutmu yang rapuh.

Kemudian perlahan kau sadar, bahwa memang betapa sebenarnya kematian sangat dekat dengan kita. Sangat dekat dan sangat tipis jaraknya. Lebih tipis dari sehelai rambutmu yang rapuh. Namun perlahan kau percaya, sehelai rambut tipis yang rapuh itu adalah sesuatu yang bisa diupayakan. Bayangkanlah, ia lahir dengan embusan napas yang begitu lembut—laksana bayi mungil yang baru lahir. Lihatlah, betapa matanya sangat indah, seindah mata peri atau bidadari yang kau bayangkankan akan menemanimu di sungai-sungai surga. Perlahan kau mulai masuk pada embusan napas yang begitu lembut itu. Kemudian kau temukan pula sebuah degup jantung yang begitu hangat, sangat pelan, sampai kau hampir tak merasakannya.

Kini kulihat kau mulai tersenyum, itu adalah sebuah kelahiran. Sebuah bayi harapan yang jika kau rawat dengan baik ia akan menjadi jembatan besi, atau menjadi sehelai rambut yang rapuh. Kau akan sadar, betapa waktu terus berjalan, sedang waktu tidak punya halte penantian. Kemudian ada yang berbegas bangun, tanpa melihat gadget, ia akan berucap: terima kasih Tuhan telah memberikanku hidup. Terima kasih Tuhan telah memberikanku niat untuk meneruskan hidup.

Adalah hidup, jika pikiranmu terus bekerja untuk kehidupan, adalah mati, jika pikiranmu menyerah untuk kehidupan.

Janganlah beranjak dari kata berjuang, sebelum kau menemukan jawaban atas pertanyaan ini:

Jika besok, saya harus berpulang, apa yang hari ini harus saya lakukan, berikan, dan wariskan?

***

MENGEKALKAN PERTEMUAN

 

affcd4643f9ae77d9c9e3e105b38dcef
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/44543483785508322/

Seorang perempuan tersesat di sebuah ingatan.
Ia kerapkali lupa jalan pulang.
Jalan pulang tak ubahnya sebuah cermin yang sukar dibedakan: bayang atau kenyataan.

 

Pagi menyeduh kopi, ia menyapa perempuan berlalu-lalang di depan rumahnya.
Dua peristiwa peliharaannnya mulai menggonggong, resah.
Mengingat, bagaimana mereka dilahirkan:

 

Ada seorang malaikat melahirkan anak bernama senja.
Ia sangat cantik, namun tak suka bercermin.
Cermin baginya adalah resah yang berlalu-lalang.
Ia kerapkali menipu untuk sekadar bertemu.
Ia tidak segan tersesat di sebuah ingatan apalagi untuk mengekalkan pertemuan.

 

Sore menjadi setumpuk pepuisi berserak di meja redaktur.
Tumpukkan lusuh yang berserak itu, melahirkan senja di mana-mana.
Malaikat geram, lantaran anaknya diduplikasi secara massal.
Senja mengudara di mana-mana, sore makin lama, makin sepi.
Malaikat geram,
Ia mengubah ribuan senja dan menyatukannya pada sebuah cermin, lalu menciptakan sebuah kelahiran: perempuan.
Maka kau tak perlu heran:
Perempuan tidak segan tersesat di sebuah ingatan apalagi untuk mengekalkan pertemuan.

 

Sapta Arif
Surakarta, September 2017

Pada sebuah Kata Pergi

Oleh: Sapta Arif

f7e660ca14ef844615fe06b5868f372d
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/413416440769639741/

Hari ini kepergianmu membisikan perihal-perihal yang tak terduga.
Badanmu berjalan di jembatan,
ingatanku menanyakan perihal pohon-pohon rindu yang tumbuh liar di hutan.
Hutan kerapkali menciptakan kengerian, air matamu yang mengatakan:

Ada seorang malaikat memintal takdir seorang perempuan, ia sudah memperhitungkan kelahiran dan kematian.
Namun hidupmu adalah sebuah dadu, ia tak pernah bisa diperkiran akan muncul angka berapa.
Sehingga aku tak kaget mendengar kabar:
Malaikatmu meleset memperkirakan kematian.

*

 

Kau adalah masa lampau. Kenangan. Dan kerapkali sengaja terjebak di sana.
Ingatanku adalah sebuah labirin. Yang bahkan aku lupa sejak kapan kita dipertemukan.
Namun pada kelahiranku yang pertama, tubuhku berada di pantai.
Dua orang merakit senja untuk berfoto di sana
dan tubuhmu adalah sebuah perlawanan takdir.

Orang-orang merakit senja lantaran mereka kehabisan cara berfoto denganmu.
Sore itu lebih awet, daripada sore sebelumnya. Tiga kelompok manusia, berlomba merakit senja secara bersama-sama.

*

 

Setumpuk pepuisi berserak di meja redaksi.
Dan di langit, ada seorang malaikat memintal hujan di tepi awan.
Matanya terkantuk lantaran belum minum kopi.
Orang-orang beramai-ramai menyuguhkan kopi di meja redaksi.
Mereka paham, menyeleksi puisi (jauh) lebih berat dari pada menyalakan kilat.

Pikiranku adalah cuaca kala itu, hujan badai, angin ribut, petir yang bergoyang.
Ingatanku adalah pekerjaan malaikat yang terkantuk.
Kendaraan berlalu-lalang, ratusan orang demo uang pensiunan,
ibu-ibu mengantre sembako sambil berdesakan.
Kacau.
Pikiranku adalah kekacauan.

Ada cahaya putih mengambang di jembatan.
Ia menatapku dan tersenyum senang.
Keesokan paginya, aku tak ingin membaca koran,
lantaran dari sana,
ingatan kerapkali dilahirkan.

 

Surakarta, Oktober 2017

Pada Sebuah Kepulangan

Oleh: Sapta Arif

9a345d97fde6416d11396ba675f82de8
SUmber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/357684395388002701/

Aku ingin menjadi pepohonan yang tumbuh, rumput, bangku-bangku, lampu gelas, gundukan pasir, perosotan, ayunan.
Dan kau adalah sebuah nama yang merindukan kepulangan.
Padaku anak-anak berlarian, ibu-ibu senang, sepeda berlalu-lalang, angin, bunga bermekaran, lalu ada kumbang yang mencumbu dengan mesra.

Pagiku selalu diselimuti embun, ia serupa matamu yang sejuk.
Di matamu aku dipertemukan, sebuah kepulangan yang tidak memiliki rumah persinggahan.

 

Lampu taman menyala, dua tiga laron mulai menggerumbul berebut cahaya.
Cahaya baginya adalah kelahiran. Pun kepulangan.
Padanya sayap-sayap itu, luruh, sangat halus.
Sayap-sayap itu luruh, pada sebuah malam dengan bulan yang hanya setengah dan bintang yang tak genap.
Langit malam sepi, lebih dalam dari sunyi, tubuhnya menyerupai hitam matamu.
Ada sedikit kerlip cahaya di sana.

 

Ada seorang perempuan membagi rindu di taman.
Ia menyebar laksana menaruh biji jagung di gerombolan merpati.
Dingin lebih banyak,  dan mereka berebut rindu yang disebar perempuan itu.

 

Seorang perempuan pulang dengan gelar sarjana lebih dari satu.
Kepulangan baginya adalah sebuah kelahiran yang tak diinginkan.
Kampung sudah melewati mesin waktu.
Pepohonan, pagar, rumah, dan jalan adalah dunia yang asing baginya.
Kesendiriannya menyembul memaksa keluar, lantaran tak tahan terkurung di dalam.

 

Pada hari ke sekian, seorang perempuan bercumbu dengan kepulangannya di taman.
Paginya, wartaman heran: banyak koran berserak di taman menulis berita di tubuhnya sendiri.

 

Surakarta, Oktober 2017

Hujan Ingatan

Oleh: Sapta Arif

3dbac2db2c5b236740f6f0f8bdab31a8
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/544865254901004664/

Aku suka menulis pepuisi, apalagi yang rimbun makna tentang kehidupan.
Menulis puisi adalah sebuah perjalanan, membolak-balikan masa,
Menunda kematian, hingga merentang ingatan.
Puisiku kerapkali marah, lantaran aku terlalu betah pada satu cerita:

 

Sebuah senja, secangkir kopi, pantai, dan kamu.
Adalah fragmen ingatan yang kerapkali berlarian di mataku,
Di kotaku kerapkali turun hujan.
Hujan tak selalu berupa rerintik air yang turun dari langit.
Ia  bisa menjelma apa saja.
Termasuk ingatan.

 

Ingatanmu kerapkali lahir di tempat yang tidak ditentukan.
Di taman, telaga, pantai, hingga bandara.
Di bandara kau kerapkali datang sebelum purnama ketiga,
Namun kau bukanlah sebuah ketepatan,
Waktu adalah sebuah pembicaraan kosong di antara kita.
Ia tak pernah menepati janji, apalagi memberikan hal-hal yang pasti.

 

Kita tidak pernah bersepakat tentang apa-apa.
Bahkan pada sebuah hujan di kotamu,
Seorang gadis duduk terdiam di sebuah halte.
Kendaraan datang-pergi, orang-orang berlalu-lalang,
gerimis hingga hujan, dan gedung-gedung yang menjulang tinggi,
adalah sebuah kesepian.

 

Kekosongan setelah itu diisi oleh kerumunan pertanyaan.
Mereka menuding gadis itu satu persatu.
Tentang ingatan, dan hujan yang kian menderas di kelopak mataku.

 

Surakarta, Oktober 2017

Perihal kepulangan, kata apa yang telah kau siapkan?

Oleh: Sapta Arif

20b1ac27a3e0360e77c4768e068bd991
Sumber Gambar: https://id.pinterest.com/pin/311663236690106133/

Ada seorang malaikat bertamu di teras rumahku,
Ia bertanya perihal kepulangan.
Perihal tubuhku,
Tubuh yang kau susun dari puisi-puisi jalanan.
Lantas,  aku tak datang pada pertemuan itu.
Kau masih terlalu sibuk di tepi telaga,
Menyusun puisi tiada henti, menggenapkan cerita-cerita Tuhan.

 

Aku kerapkali iri pada gigil yang menyelimuti tubuhmu,
Ia bisa dengan leluasa memeluk dan menemanimu.
Namun pagi itu,

Aku ingin menjadi kemauan, yang memaksamu lekas pulang.
Membicarakan perihal tubuhku
dan potongan-potongan puisi yang belum kau genapi.

 

Surakarta, November 2017

 

MENENTRAMKAN KESEDIHAN

Oleh: Sapta Arif

Sumber Gambar: https://pin.it/qvrhzswlispsdt

/1/
Bagiku, pelukanmu masih menjadi satu-satunya tempat yang kusebut rumah.
Di sana, aku kerapkali merasakan kelahiran yang berulang.
Masa kanak-kanak yang panjang,
Dewasa yang kerapkali bisa ditunda kapan saja.

/2/
Pada sebuah senja yang ganjil,
dan ribuan bunga yang mulai betebaran di langit.
Aku kerapkali memintamu datang,
mengajakmu menziarahi malam.
Lalu menikmati pelukanmu di bawah bunga-bunga malam.
/3/
Beberapa tahun kemudian.
Di sebuah malam yang kita ziarahi itu,
kau meminta sebuah kesedihan.
Lalu membunyikan lonceng,
meski burung-burung belum beterbangan, dan bunga belum siap bermekaran.
Kau dengan segenap keutuhanmu, menawarkan sebuah pelukan.
Lalu melontarkanku pada sebuah rumah yang tak mengenal pintu kesedihan.

 

Surakarta, Desember 2017

BUNUH DIRI

Oleh: Sapta Arif

62cfd66d110afbfbdf7f91b1a62d97b6 (1)

Untuk perempuan bermata senja,
aku ingin mengatakan,
Tubuh yang kini berhadapan denganmu,
Sudah bukan menjadi tubuhku.
Jiwaku telah lama pergi,
Lantaran seorang bayi bernama sepi,
yang bertahun-tahun lalu, kau titipkan padaku,
kini telah menjadi dewasa.
Dan tubuh lusuh itu,
sudah tak cukup untuk kami singgahi berdua.

 

Surakarta, Desember 2017

MERENCANAKAN HUJAN DI BULAN JUNI

Oleh: Sapta Arif

d9e8a1e24951820f786dff0a81b5c2b7
Sumber gambar: https://id.pinterest.com/ pin/407364728782401866/

Lahirlah di sebuah gerimis,
Pada hujan yang lebat, senja, atau di puncak malam.
Di langit saat dua malaikat sedang berdebat,
Dan Ibumu menangis menahan kelahiran.

Lalu di tepi ranjang, ayahmu mengenggam tangan Ibu.
Di rahim, kau memaksa keluar.
Sabar, langit belum tumpah.

Seorang malaikat nekat mendekat.
Satu lainnya mengumpulkan awan.
Pada hitungan ke sekian,
Kau harus di lahirkan.

 

Surakarta, Desember 2017

MENUNDA KEMATIANMU

Oleh: Sapta Arif

 

de96eca2e1d39b6b991fcfea372d5d87
Sumber gambar: https://pin.it/kuapuaxlbo3a6d

Kau menunda kematianmu di senja itu,
Menjamah yang tersisa di langit.
Di ingatan,
matahari surut,
sayapnya menaburkan bunga-bunga kamboja.

 

Untuk apa kau menziarahi hal-hal yang belum mati.
Seperti di ceruk matamu,
yang masih—ingin— hidup,
Di dada,
rongga kota yang sesak,
dan di jantung kehidupan manusia.

 

Dua malaikat berdebat,
Seperti di pohon mangga,
Ada sesak yang siap menerobos jendela.
Lalu di kamar, kau masih hidup dalam koma.
Lalu Ia bertanya,
untuk apa Ku-ciptakan kesedihan?
Jika dengan bahagia saja,
kematian kerapkali kau tunda.

 

Surakarta, Desember 2017